Berita Terbaru
Sidang Dugaan Pelanggaran Persaingan Usaha P2P Lending Berlanjut, Majelis Komisi Periksa Ahli Terlapor
09 Desember 2025
Jakarta (9/12) – Sidang perkara dugaan pelanggaran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 di sektor layanan peer-to-peer lending kembali berlanjut dengan agenda pemeriksaan Ahli yang diajukan oleh para Terlapor. Pada persidangan hari ini, Ahli Pendanaan Syariah, Dr. Umar Al Haddad, hadir untuk memberikan pandangan dan penjelasan terkait penerapan prinsip-prinsip keuangan syariah dalam model pendanaan yang menjadi substansi perkara.
Sidang perkara dengan nomor register 05/KPPU-I/2025 tentang Dugaan Pelanggaran Pasal 5 UU No. 5 Tahun 1999 terkait Layanan Pinjam-Meminjam Uang atau Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (Fintech P2P Lending) ini dipimpin oleh Ketua Majelis Komisi Rhido Jusmadi, bersama Anggota Majelis Aru Armando, Mohammad Reza, Moh. Noor Rofieq, dan Gopprera Panggabean yang hadir secara langsung, serta M. Fanshurullah Asa, Hilman Pujana, dan Eugenia Mardanugraha yang hadir secara daring.
Majelis Komisi memberikan kesempatan kepada para Terlapor, Investigator, dan Majelis sendiri untuk mengajukan pertanyaan kepada Ahli. Dalam keterangannya, Ahli Umar Al Haddad memaparkan secara komprehensif prinsip-prinsip pendanaan syariah dan perbedaannya dengan skema berbasis bunga yang umum ditemukan dalam praktik pembiayaan konvensional.
Ahli menjelaskan bahwa lembaga keuangan dan bisnis syariah tidak mengenal dan tidak memperbolehkan bunga, karena dikategorikan sebagai riba yang dilarang dalam ajaran Islam. Dalam sistem keuangan syariah, hubungan pendanaan dibangun berdasarkan akad, yaitu kesepakatan syariah yang menentukan mekanisme kerja sama dan imbal hasil.
Ia turut menguraikan berbagai jenis akad yang lazim digunakan dalam pendanaan syariah, seperti wadiah, mudharabah, musyarakah, murabahah, salam, istisna, ijarah, ijarah muntahiyah bit tamlik, dan qardh, beserta karakteristik dan implementasinya. Ahli juga menjelaskan konsep mudharib dan shahibul mal sebagai dua pihak yang terlibat dalam akad kerja sama bisnis syariah.
Selain menjelaskan konsep dasar, Ahli memaparkan kerangka regulasi syariah yang berlaku, termasuk posisi dan peran Majelis Ulama Indonesia (MUI), Dewan Syariah Nasional (DSN), dan Dewan Pengawas Syariah (DPS) dalam memastikan kepatuhan syariah pada lembaga keuangan. Ia juga merujuk pada Fatwa DSN-MUI Nomor 117/DSN-MUI/II/2018 mengenai layanan pembiayaan berbasis teknologi informasi berdasarkan prinsip syariah, serta Fatwa DSN-MUI No. 01 Tahun 2004 yang menegaskan larangan bunga dalam transaksi keuangan.
Dalam penjelasannya, Ahli turut menyinggung keberadaan Asosiasi Fintech Syariah Indonesia (AFSI) sebagai wadah yang membina dan mengembangkan ekosistem keuangan digital syariah di Indonesia.
Setelah mendengarkan keterangan Ahli, Majelis Komisi menutup jalannya persidangan. Sidang akan dilanjutkan pada 11 Desember 2025 dengan agenda pemeriksaan Ahli yang diajukan oleh para Terlapor. Informasi perkembangan dan jadwal sidang selanjutnya dapat diakses melalui tautan: https://kppu.go.id/jadwal-sidang/
Sidang perkara dengan nomor register 05/KPPU-I/2025 tentang Dugaan Pelanggaran Pasal 5 UU No. 5 Tahun 1999 terkait Layanan Pinjam-Meminjam Uang atau Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (Fintech P2P Lending) ini dipimpin oleh Ketua Majelis Komisi Rhido Jusmadi, bersama Anggota Majelis Aru Armando, Mohammad Reza, Moh. Noor Rofieq, dan Gopprera Panggabean yang hadir secara langsung, serta M. Fanshurullah Asa, Hilman Pujana, dan Eugenia Mardanugraha yang hadir secara daring.
Majelis Komisi memberikan kesempatan kepada para Terlapor, Investigator, dan Majelis sendiri untuk mengajukan pertanyaan kepada Ahli. Dalam keterangannya, Ahli Umar Al Haddad memaparkan secara komprehensif prinsip-prinsip pendanaan syariah dan perbedaannya dengan skema berbasis bunga yang umum ditemukan dalam praktik pembiayaan konvensional.
Ahli menjelaskan bahwa lembaga keuangan dan bisnis syariah tidak mengenal dan tidak memperbolehkan bunga, karena dikategorikan sebagai riba yang dilarang dalam ajaran Islam. Dalam sistem keuangan syariah, hubungan pendanaan dibangun berdasarkan akad, yaitu kesepakatan syariah yang menentukan mekanisme kerja sama dan imbal hasil.
Ia turut menguraikan berbagai jenis akad yang lazim digunakan dalam pendanaan syariah, seperti wadiah, mudharabah, musyarakah, murabahah, salam, istisna, ijarah, ijarah muntahiyah bit tamlik, dan qardh, beserta karakteristik dan implementasinya. Ahli juga menjelaskan konsep mudharib dan shahibul mal sebagai dua pihak yang terlibat dalam akad kerja sama bisnis syariah.
Selain menjelaskan konsep dasar, Ahli memaparkan kerangka regulasi syariah yang berlaku, termasuk posisi dan peran Majelis Ulama Indonesia (MUI), Dewan Syariah Nasional (DSN), dan Dewan Pengawas Syariah (DPS) dalam memastikan kepatuhan syariah pada lembaga keuangan. Ia juga merujuk pada Fatwa DSN-MUI Nomor 117/DSN-MUI/II/2018 mengenai layanan pembiayaan berbasis teknologi informasi berdasarkan prinsip syariah, serta Fatwa DSN-MUI No. 01 Tahun 2004 yang menegaskan larangan bunga dalam transaksi keuangan.
Dalam penjelasannya, Ahli turut menyinggung keberadaan Asosiasi Fintech Syariah Indonesia (AFSI) sebagai wadah yang membina dan mengembangkan ekosistem keuangan digital syariah di Indonesia.
Setelah mendengarkan keterangan Ahli, Majelis Komisi menutup jalannya persidangan. Sidang akan dilanjutkan pada 11 Desember 2025 dengan agenda pemeriksaan Ahli yang diajukan oleh para Terlapor. Informasi perkembangan dan jadwal sidang selanjutnya dapat diakses melalui tautan: https://kppu.go.id/jadwal-sidang/